Saturday 10 November 2012

Lambang RI Mirip Kerajaan Samudera Pasai

Lambang negara Indonesia ini meniru lambang Kerajaan Samudera Pasai yang duluan eksis.
Jangan salah duga dua lukisan di atas sekilas mirip. Namun kalau diperhatikan detil sangat berbeda. Keduanya juga merupakan lambang dua negara yang berbeda. Yang pertama Garuda Pancasila lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan yang kedua lambang Kerajaan Samudera Pasai.

Asal muasal penggunaan lambang Garuda Pancasila sebagai lambang negara adalah bermula saat Sultan Abdurrahman Hamid Algadrie II (Sultan Hamid II) memenangi sayembara lambang negara. Sayembara ini diadakan oleh Presiden Soekarno. Sebelumnya ada usulan lambang negara yang diajukan oleh M. Yamin namun ditolak oleh panitia karena masih ada pengaruh Jepang melalui penempatan sinar matahari.

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, baru pada tahun 1950 kita memiliki lambang negara. Jadi selama lima tahun itu Indonesia nirlambang negara. Garuda Pancasila ditetapkan sebagai lambang Negara RI pada 11 Februari 1950 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951.
Lalu Presiden Soekarno memperkenalkan lambang itu kepada masyarakat pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta. Sebelumnya Garuda juga sudah menjadi lambang kerajaan atau stempel kerajaan di Jawa seperti Kerajaan Airlangga.
Sebelum digunakan secara resmi sebagai lambaga negara RI, Garuda juga sudah dipakai sebagai lambang Kerajaan Samudera Pasai yang dulu kala berpusat di Aceh Utara. Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Sultan Malikussaleh (Meurah Silu) pada abad ke 13 atau pada 1267. Seorang petualang Ibnu Batuthah dalam bukunya Tuhfat al-Nazha menuturkan Samudera Pasai sudah menjadi pusat studi Islam di kawasan Asia Tenggara.
Siapa sebenarnya yang merancang lambang Kerajaan Samudera Pasai? “Lambang Kerajaan Samudera Pasai dirancang oleh Sultan Samudera Pasai Sultan Zainal Abidin. Lambang burung itu bermakna syiar agama yang luas, berani dan bijaksana,” sebut R Indra S Attahashi kepada Beritasatu.com, Sabtu (6/10).
Indra menjelaskan, lambang berisi kalimat Tauhid dan Rukun Islam. Rinciannya, kepala burung itu bermakna Basmallah, sayap dan kakinya merupakan ucapan dua kalimat Syahadat. Terakhir, badan burung itu merupakan Rukun Islam.
Pria kelahiran 1974 itu menjelaskan lambang itu disalin ulang oleh Teuku Raja Muluk Attahashi bin bin Teuku Cik Ismail Siddik Attahashi yang merupakan Sultan Muda Aceh yang diangkat pasca peristiwa Perang Cumbok pada 1945. Ketika itu di Aceh Tamiang ada kerajaan sendiri bernama Kerajaan Sungai Iyu
“Bisa saja disebut, lambang negara Indonesia ini meniru lambang Kerajaan Samudera Pasai yang duluan eksis sebelum kaum Nasionalis Marhaenisme merancang NKRI,” ungkap Indra yang juga generasi ketujuh dari Kerajaan Sungai Iyu.
Indra menjelaskan, lambang Kerajaan Samudera Pasai itu sudah ada dalam silsilah keluarganya lebih dari 100 tahun lalu. Dari kakek atau nenek, lambang itu diwariskan dari generasi ke generasi yang selalu dikisahkan bahwa itu lambang Kerajaan Samudera Pasai.
Disebutkan, asal-usul pendiri Kerajaan Samudera Pasai berasal dari keturunan Turki yakni Al Ghazy Syarif Attahashi yang merupakan panglima memimpin utusan Dinasti Usmaniyah (Ottoman) yang membantu Aceh menghadapi serangan Portugis. Kemudian panglima ketujuh itu menikah dengan seorang putri Sultan Iskandar Muda.
Perihal lambang Negara Indonesia yang mirip dengan lambang Kerajaan Samudera Pasai juga dituturkan oleh Ibrahim Qamarius dosen Universitas Malikussaleh Aceh Utara. Setelah digelar seminar International Conference and Seminar “Malikussaleh; Past, Present and Future di Aceh Utara pada 11-12 Juli 2011, masyarakat mengirim lambang Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan replika.
Lambang itu dilukis oleh Teuku Raja Muluk Attahashi, keturunan dari panglima Turki Utsmani yang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Muda menghadapi Portugis, pimpinan dari Panglima Tujuh Syarif Attahashi.
Ibrahim menjelaskan, walaupun lambang Indonesia mirip dengan Kerajaan Samudera Pasai belum bisa dipastikan Indonesia meniru dari Samudera Pasai. Menurutnya, perlu pengkajian lebih lanjut
“Panitia melakukan pengkajian konprehensif mengenai lambang atau gambar tersebut dan kemungkinan dibahas pada International Conference and Seminar Malikussaleh kedua pada 2013,” ungkap Ibrahim yang mantan ketua panitia konferensi itu kepada Beritasatu.com, Sabtu (6/10).
Terlepas dari klaim inspirasi Garuda dari lambang Kerajaan Samudera Pasai, sejarawan LIPI Aswi Warman Adam menegaskan kalau klaim itu menunjukkan kecintaan bangsa Indonesia. “Ini bukanlah sebuah klaim yang menjurus ke arah negatif. Ini merupakan sebuah bentuk kecintaan bangsa Indonesia, yang dulu saat proses pemilihan lambang negara memang ikut terlibat,” kata Asvi.
Penulis: Murizal Hamzah

Sejarah Awal Muhammadiyah Yang Terlupakan

Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1914. Sayid Abdullah bin Alwi Alatas seorang staf Jamiat Kheir sangat berperan dalam usaha Ahmad Dahlan menghadapi kegiatan missi dan zending di Jawa ini, ia memberikan bantuan keuangan untuk berdirinya perkumpulan Muhammadiyah. Memang pada awalnya perkumpulan ini didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu yang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan umat Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu : keterbelakangan/kebodohan, kemiskinan dan kondisi pendidikan Islam yang sangat kuno, sehingga tidak mampu mengantisipasi dan bersaing dengan sekolah-sekolah Missi dan Zending.
Menurut Harun Nasution, motivasi lain yang juga menjadi pendorong Ahmad Dahlan, adalah ide-ide Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang terdapat dalam majalah al-Manar. Majalah ini juga menjadi salah satu bacaan Ahmad Dahlan terutama sekembali dari tanah suci. Ahmad Dahlan memberi perhatian besar pada pengajaran dan pendidikan serta menghindari keterlibatan dalam politik praktis. Tujuan ini sama dengan tujuan didirikannya perkumpulan Jamiat Kheir yang menekankan masalah sosial dan pendidikan. Pada Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1921 tujuan dari perkumpulan ini, yang terdapat pada artikel 2 dan 3 menekankan kepada pengajaran dan pendidikan.
Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa bahkan seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah diniyat yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Dilihat dari kurikulum pengajarannya, menampilkan kesan bahwa integrasi materi pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, mencerminkan model kurikulum yang telah dirintis oleh perguruan Islam sebelumnya, terutama Jamiat Kheir diterapkan dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Pengaruh Jamiat Kheir terhadap Ahmad Dahlan memang terlihat dari pemikirannya tentang pendidikan Islam. Beberapa pernyataan memberi informasi bahwa Ahmad Dahlan menjadi anggota ke 770 Jamiat Kheir. Dalam pengantar buku Thariqah menuju Kebahagiaan, Muhammad al-Bagir menulis :Tertarik kepada ide-ide pembaharuan yang timbul dalam Jamiat Kheir ini, dan yang digambarkan sebagai penggerak Dunia Islam Baru yang pertama kali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak tokoh agama dan nasional mencatatkan diri sebagai anggotanya. Diantara mereka inilah terdapat tokoh-tokoh yang kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam dan Budi Utomo. Tercatat sebagai anggota antara lain KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota nomor 770. Dari sanalah mereka mengenal bacaan-bacaan kaum reformis Islam yang didatangkan dari luar negeri.
Menurut Karel A. Steenbrink, K.H.Ahmad Dahlan bukanlah seorang teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya : ‘sedikit bicara, banyak bekerja’. Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafii, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah. Ali Mustafa Ya’kub mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan shalat tarawih dua puluh raka’at, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan pengikut madzhab Syafii di Indonesia. Bahkan saking dekatnya ikatan emosional K.H.Ahmad Dahlan dengan Ahlul Bayt beliau menyarankan bahwa segeralah membentuk organisasi otonom kaum perempuan Muhammadiyah dan nama yang diusulkan beliau adalah Fathimah dengan alasan yang paling pas nama yang disandingkan disisi Rasul Saw dalam perjuangan dan dakwah Islam adalah putri tercinta Nabi Saw Sayyidah Fathimah dan para pengikutnya dinamakan Fathimiyah. Akan tetapi terjadi perdebatan diantara sahabat dan pengurus awal Muhammadiyah mengenai nama Fathimah atau A’isyah dan suara terbanyak menginginkan nama A’isyah sehingga dinamakanlah ortom itu dengan A’isyiyah.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu Islam pertama di Indonesia berdiri tahun 1901. Melalui organisasi ini Kyai Dahlan berkenalan Syeikh Ahmad Syurkati, Sayid Abdullah Alatas yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar-belakangi ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair. Organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern.
Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar, para pengikut pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh membawa gerakan pembaharuan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan. Perjuangan dua tokoh ini bak gayung bersambut dan dilaksanakan oleh pejuang Islam tanah air yang kemudian melahirkan sebuah organisasi Islam di pekojan pada tahun 1901.
Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Sayid Ali Shahab dan Sayid Idrus Shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.
Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi.
Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda. Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan Belanda. Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.
Jamiat khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam, misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan oraganisasi keIslaman lain di nusantara.
Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.
Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian Dahlan tersebut sebagai berikut:Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”.
Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, K.H. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”
Setelah K.H.Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta., salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah H. Mas Mansur, atas idenya Muhammadiyah mendirikan majlis tarjih pada tahun 1927, sehingga dengan berdirinya majlis tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang hukum Agama tidak lagi bertaklid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab Syafii.
K.H. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idenya bertambah dan berkembang terus. Salah satu kitab yang digemarinya adalah kitab al-Qashaid al-Atthasiyah karangan Sayid Abdullah Alatas. Meskipun tidak terhitung sebagai ulama besar yang luar biasa ilmunya, tetapi beliau mempunyai hati yang bersih, berjuang karena Allah semata, jauh dari sifat takabur dan ujub, jauh dari kecintaan terhadap kemewahan dunia dan menghindari perdebatan masalah khilafiyah yang tidak membawa manfaat. Beliau meninggal pada tahun 1923. Selama beliau hidup, Muhammadiyah mengalami masa yang tentram dan damai, jauh dari hiruk pikuk perdebatan masalah-masalah khilafiyah.
Setelah K.H.Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924. Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini, antara lain, adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Di antara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang-orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawasul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dan menguasai teks-teks alquran dan hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya alquran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah tersebut, Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Yunahar.

Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga bersama Hasyim Asyari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Kyai Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermahzab Syafii, maka praktik ibadah Kyai Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Mahzab Syafii. Hanya saja, karena Kyai Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari Al Mannar, karya Rasyid Ridha, maka Kyai Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermahdzab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi” terang Yunahar. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat solat pakai “USHOLLI FARDLA..” (hlm. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap subuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca solawat pakai “SAYYIDINA”, termsk bacaan solawat dalam solat (h. 29)
6. Setelah solat disunnahkan WIRIDAN: istighfar, allahumma antassalam, subhanalallah 33x, alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Salat tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang solat & khutbah jumat juga sama dg amaliah NU (h. 57-60).
A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa Pada Awal Abad ke-20, hal. 105.
Junus Salam, Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan Amal Perjuangannya, hal. 62.
Karel A. Steenbrink. op cit, hal. 52.
Ali Mustafa Ya’kub, Hadits Hadits Bermasalah, hal. 155.
Junus Salam, op cit, hal. 8.
Deliar Noer, op cit, hal. 248

MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHHABI

Penulis :
Oleh
Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag
I. Pendahuluan

Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan pembaruan di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau satu abad sejak didirikannya oleh Kiai H.Ahmad Dahlan pada tahun 1912 yang lalu, Muhammadiyah tidak pernah absen memberikan kontribusinya kepada umat Islam pada khususnya dan kepada bangsa Indonesia pada umumnya. Kontribusi tersebut, baik yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk agama dan dakwah maupun yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk pendidikan dan sosial. Hal itu dapat disaksikan realitasnya dengan jelas dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian, tidak berarti Muhammadiyah sunyi dari isu-isu yang dapat merugikan nama baik dan citranya. Karena sejak awal berdiri hingga sekarang ini, Muhammadiyah telah dituduh Wahhabi dalam arti negatif oleh para pesaingnya. Lebih daripada itu lagi, Wahabi itu sendiiri telah dituduh menjadi dasar ideologi terorisme, terutama di Indonesia. Dengan demikian, logikanya adalah Muhammadiyah sama dengan terorisme.
Tuduhan tersebut perlu diklarifiksi dan dijawab sebagaimana mestinya, karena tuduhan tersebut di samping merugikan Muhammadiyah, juga tidak berdasarkan fakta, tetapi hanya berdasarkan opini dan dugaan semata. Untuk klarifikasi dan jawaban tersebut, Penerbit Suara Muhammadiyah telah menerbitkan buku yang berjudulMuhammadiyah dan Wahanisme yang sekaligus merupakan kumpulan makalah yang disampaikan oleh para pakarnya dalam sebuah seminar dengan tema Kupas Tuntas gerakan Wahhabi pada tanggal 10 Desember 2012.
Apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut dapat diterima dan sudah cukup untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah. Meskipun demikian, dalam kesempatan bedah buku Muhammadiyah dan Wahabisme ini, akan disampaikan juga beberpa hal yang mendukung apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut sesuai dengan permintaan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Untuk itu, maka paparannya mencakup (a) sekilas tentang kelahiran Wahhabiyyah, gerakan, dan ajaran-ajarannya, (b) sekIlas tentang Muhammadiyah, persamaan dan perbedaannya dengan Wahhabi, (c) Muhammadiyah tidak dipengaruhi oleh Wahhabi, tetapi oleh gerakan dan pemikiran pembaruan yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, (d) Penutup.

II. Sekilas tentang Kelahiran Wahhabi, Gerakan dan Ajaran-Ajarannya

Sebelum melakukan analisis tentang hubungan Muhammadiyah dengan Wah-habi, terlebih dahulu kita perlu mengetahui latar belakang kelahiran Wahhabi, gerakan, dan ajaran-ajarannya..
Wahhabi atau Wahhabiyyah adalah salah satu aliran dalam Islam yang lahir di Nejd (Saudi Arabia). Aliran tersebut didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhāb (1115 H-1206 H/1703-1787 H) di desa ‘Uyaynah yang terletak di Nejd, Setelah menimba ilmu pengetahuan agama di Madinah, ia pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun. Setelah itu, ia pindah ke Bagdad dan kawin dengan seorang wanita y kaya. Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan dan menetap di sana selama satu tahun. Setelah itu ia pindah ke ke Hamażan dan menetap di sana selama dua tahun. Setelah itu, ia, pindah lagi ke Isfahan. Di kota yang terakhir ini ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah beberapa tahun lamanya merantau, ia akhirnya kembali ke ‘Uyaynah, tempat kelahirannya.(Harun Nasution, 1975: 23)
Setelah beberapa bulan kembali ke desa Uyayynah, Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai melakukan gerakannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam di desa kelahirannya.. Gerakan itu dilakukannya, bukan merupakan respon dan reaksi terhadap suasana politik di Nejd seperti yang terdapat di Kerajaan Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi terhadap pemahaman tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu itu; dan pemahaman mereka itu menurutnya, sudah menyim-pang dari paham tauhid yang sebenarnya. Menurutnya, kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M telah tersebar luas di dunia Islam. (Harun Nasution, 1975: 23)
Pengrusakan kemurnian tauhid tersebut telah disaksikan oleh Muhammad Abd al-Wahhab di setiap negeri Islam yang telah dikunjunginya. Di setiap kota dan desa di negeri-negeri Islam tersebut terdapat kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tarekat yang dianggap keramat. Ke kuburan-kuburan itulah umat Islam berziarah dan memohon pertolongan kepada syekh-syekh dan wali-wali yang terbaring di dalamnya agar berkenan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, baik yang berkenaan dengan keinginan untuk mendapatkan anak, jodoh, harta kekayaan maupun yang berkenaan dengan keselamatan dari bala dan kesembuhan dari penyakit yang diderita.. Umat Islam melakukan hal itu, karena menurut keyakinan mereka, syekh-syekh dan wali-wali tarekat itu meskipun telah meninggal dunia dipandang dapat menyelesaikan segala persoalan yang hadapi manusia di dunia ini. (Harun Nasution, 1975: 23)
Menurut Muhammad Abd al-Wahhab, karena pengaruh ajaran tarekat tersebut, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Allah SWT sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi melalui syafaat dari syekh-syekh dan wali-wali tarekat, yang diyakini sebagai orang-orang yang dapat mendekati Allah dan mendapatkan rahmat-Nya. Menurut keyakinan orang-orang yang berziarah ke kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tersebut, Allah tidak dapat didekati, kecuali melalui perantara. Menurut Ahmad Amin, bagi mereka, Allah itu seperti seorang raja yang zalim di dunia, yang untuk memperoleh belas kasihan dan keampunannya harus didekati melalui orang-orang besar dan berkuasa di sekiarnya. (Harun Nasution, 1975: 24)
Pada mulanya gerakan dan paham Muhammad Abd al-Wahhab tersebut mendapat tantangan yang keras dari masyarakatnya, termasuk dari keluarganya sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendapatkan pengikut yang banyak. Di antaranya, banyak pula yang berasal dari luar desanya.. Namun, karena paham dan gerakannya telah menimbulkan berbagai keributan di desanya, ia pun diusir oleh penguasa setempat. Karena itu, ia dan keluarganya terpaksa meninggalkan ‘Uyaynah dan hijrah ke Dar’iyah, sebuah desa tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ud, kepala suku yang kelak menjadi nenek moyang raja-raja Kerajaan Sa’udi.Arabia secara turun termurun. Kebetulan tokoh yang terakhir ini sudah mengikuti paham yang dibawanya dan mendukung dan memberikan fasilitas untuk gerakan dan penebaran pahamnya. Dengan hijrahnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab dari ‘Uyaynah ke Dar’iyah, telah membawa keberuntungan kepadanya. Karena dengan bergabungnya kedua tokoh tersebut telah membuat paham Wahabiah berkembang pesat di Saudi Arabia, terlebih lagi setelah berdiri kerajaan Su’udiyah, tidsk ada lsgi yang dapat menghslangi perkembangan gerakan dan paham Wahabiyyah.
Sepeninggal Muhammad ibn Sa’ud, anak dan keturunannya yang telah menjadi penguasa di Saudi Arabia terus memberikan dukungan dan ikut mengembangkan paham Muhammad Abd al-Wahhab. Bahkan, meskipun kerajaan Saudi Arabia telah mengalami pasang surut dan di antara para penguasanya telah dihukum mati oleh kerjaan Usmani, paham Muhammad ibn Abd al-Wahhab tetap berjaya di sana. Begitu pula setelah tokohnya sendiri wafat pada tahun 1206/1795 M), paham tersebut telah memiliki kedudukan yang kuat di tanah suci, baik dari segi penerimaan oleh masyarakat Muslim di sana maupun dari segi politik.
Paham dan gerakan yang berasal dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini dinamai Wahhabi atau Wahhabiyyah. Namun, nama tersebut, bukan berasal dari pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari pihak lain yang telah menentangnya. Sebenarnya nama Wahhabi atau Wahhabiyyah tersebut tidak tepat, karena nisbahnya bukan kepada pendirinya, tetapi kepada ayahnya yang tidak ada terliobat dalam pengembangan ajaran-ajaran anaknya..Nama yang tepat adalah Muhammadiyyah sesuai dengan nama pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Namun, mereka sendiri menyebut paham dan gerakan mereka itu dengan muwahhidin, Ahl al-sunnah wa al-Jamū’ah, dan Salafiyah. Alasan mereka mengatakan demikian, ksrena mreka hanya menganut dan mengikuti apa yang telah dianut dan dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan para salafussaleh yang mengikutinya. Sistem tarekat (metode) yang mereka ikuti adalah Muhammadan (kata ini dapat menunjuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab, tetapi juga bisa mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad SAW).(Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 1242)
Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya mengaku bahwa mereka adalah golongan Sunni, pengikut mazhab Ahmad ibn Hanbal versi Ibn Taimiyah. Karena itu, pokok-pokok akidah menurut Wahhabi pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah dikemukakan Ibn Taimiyah.. Perbedaannya hanya pada cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa masalah tertentu. DI samping itu, kalau Ibn Taimiyah menanam-kan paham-pahamnya kepada orang lain dengan cara menulis buku, dialog, dan perdebatan, Muhammad Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan sehingga tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang kafir dan syirik yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan meratakannya dngan tanah dan merusak bangunan mesjid kalau itu dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada kemusyrikan.

Ajaran-ajaran Muhammad Abdul Wahhab atau Wahabiyyah tersebut, antara lain.

1. Orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir; karena itu boleh dibunuh.
2. Oleh karena Allah adalah Mahaesa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa kepada Allah melalui perantara (wasilah)
3. Meminta pertolongan kepada syekh-syekh atau wali-wali tarikat yang terbaring dalam kuburan, baik untuk mendapatkan jodoh, anak, rezeki, dan keselamatan adalah syirik.
4. Haram berzikir dan membaca wiirid dengan menggunakan buah tasbih, tetapi cukup dengan menghitung keratan jari.
5. Bidah, takhayul, dan khurafat wajib dibasmi
6. Termasuk perbuatan bidah adalah memperingati maulid Nabi SAW, menyelenggarakan halqah zikir, membaca kitab-kitab manaqib, kitab-kitab tawassulat, dan Dalail- al-Khairat.

7.
Pintu ijtihad tidak tertutup; karena itu siapa saja yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, boleh berijtihad.
8. Tidak boleh taklid dalam beragama
9. Sumber ajaran Islam hanya Alquran dan al-sunnah. Kalau masih diperlukan ijtihad untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran dan al-Sunnah, kedudukannya bukanlah sebagai sumber, melainkan sebagai metode saja, termasuk di dalamnya qiyas.
10. Kalau terdapat pertentangan antara pendapat Imam mazhab, seperti Ahmad ibn Hanbal dengan Alquran dan al-Hadits, pendapat Imam mereka, mereka tinggalkan dan mereka ambil penegasan dari Alquran atau al-sunnah.

.III. Sekilas tentang Muhammadiyah, Persamaan dan Perbedaannya dengan Wahhabi

Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah Kiai.H.Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Namun, sete;ah setahun belajar di sana, ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana selama dua tahun.
Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridla, murid Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam di tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770). Apalagi kondisi umat Islam pada waktu itu sedang terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya dalam menghadapi kedijayaan dan keserakahan kolonial Belanda. Ketika berhadapan dengan kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, di antara mereka bersikap antipati dan menolaknya secara mutlak; dan di antaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula. Bahkan, mereka yang telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan percaya diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke dalam mesjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan tercemarnya paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bidah, tskhsyul, dan khurafat, di samping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mengingat hal itu, maka setelah kembali ke tanah air, K.H.Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dengan merujuk kepada Alquran dan al-sunnah dan sekaligus pula melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam secara bertahap dan mandiri di Yogyakarta. Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan tersebut, tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan), tetapi juga dengan bi al-hāl (dengan perbuatan), seperti mendirikan sekolah-sekolah modern, menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Meskipun di satu sisi gerakan yang dilakukan K.H.Ahmad Dahlan tersebut mendapat tantangan dari kalangan masyarakat Muslim yang tradisionalis, di sisi lain mendapat dukungan dari masyarakat Muslim yang lain.
Dukungan tersebut semakin lama, semakin besar sehingga pada tahun 1912 dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan atau organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah pemurnian dan pembaharuan tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal. Perserikatan tersebut dinamai Muhammadiyah dan diresmikan berdirinya oleh K.H.Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330H/18 Nopember 1912. Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup banyak, rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) yang juga berjumlah besar dan dibutuhkan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah maupun fiqh (hukum Islam) merujuk kepada Alquran dan al-sunnah. Di samping itu juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istisan masalih al-mursalah add al-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum, melainkan metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran dan al-sunnah.
Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari Alquran dan al-sunnah, Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu telah dinyatakan dalam Himpunan Putusan tarjih. Menurut putusan tersebut, Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar dengan merujuk kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat al-nājiyah min al-salaf). Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang berlaku pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga dimasukkan dalam katagore Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang cenderung di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Muhammad ibn Abd al-Wahhāb dan Rasyid Ridla.(Haedar Nashir, 2007: 15)
Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah seorang Pimpinan Pusat Muham-madiyah. Buku ini identik dengan buku-buku akidah yang ditulis oleh kalangan Wahha-bi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat dianggap sebagai pencerminan paham Muham-madiyah di bidang akidah, berarti tidak ada perbedaannya dengan paham akidah Salafiyyah dan Wahhabi.
Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Kalau Wahhabi menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan diri meng-ikuti mazhab Hanbali meskipun tidak fanatik.. Sebaliknya, Muhammadiyah di samping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga tidak mengikuti mazhab tertentu, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali maupun mazhab lainnya. Namun, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengikuti keputusan Majelis Tarjih Muham-madiyah dalam hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang serasi dengan salah satu dari mazhab yang empat dan kadang-kadang serasi dengan mazhab yang lain.dari mazhab yang empat atau yang di luar dari mazhab-mazhab tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda dan tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain cara berwudlu, salat subuh tidak menyertakan doa qunut, membaca surat al-Fatihah dalam salat tanpa membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyarring, dan hukum merokok adalah haram. Sebaliknya, keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain :
(1) Salat tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahhabi sebanyak 20 rakaat.
(2) Salat ‘Id al-Fithri dan Salat ‘Id al-Adlha dilaksanakan di lapangan, bukan di mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah di mesjid..
(3) Penentuan awal Ramadlan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus melalui rukyah.
(4) Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang, tetapi harus berupa makanan pokok.
(5) Zakat boleh diberikan kepada panitia mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada pihak-pihak yang tidak ternasuk asnaf delapan.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan dakwah dan amar ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok dengan Wahhabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara yang bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya, Wahhabi, terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan dan memandang setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dipandang sebagai orang yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar.
IV Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh Wahhabi, tetapi dipengaruh oleh Gerakan dan pemikiran Pembaruan yang Diusung oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla.

Menurut Dr Shalih ibn Abdullah dan Dr Muhammad Kamil Dlahir dalam buku masing-masing, dakwah dan paham Wahhabi atau pendirinya, Muhammad ibn al-Wahhab tidak hanya telah mempengaruhi pemikitran umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di berbagai negara Islam, seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, dan Paletina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir, dan India. Namun, keduanya tidak menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah itu telah juga mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn Abdillah, 1408: 631-697 dan Muhammad Kāml Dlāhir, 1414/1993: 199-208) Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, Kiai H.Ahmad Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap beberapa tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada para ulama dari kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca karya-karya tulis mereka. Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal antara keduanya. Karena, di kalangan Wahhabi, terutama pada masa silam tidak pernah dilaksanakan hal tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran agama, khususnya di bidang akidah dan ibadah mahdlah.
Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan gerakan Wah-habi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution, Kiai.H.Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Namun, dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridla lebih banyak daripada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh dalam mem-pengaruhi pemikiran mereka dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal daripada Rasyid Ridla. Kalau Abduh lebih cenderung kepada Mu’tazilah, Rasyid Ridla lebih cenderung kepada Salafiyah. (Harun Nasution, 1415 /1995: 155-156) Selain itu, Rasyid Ridla sendiri mengklain dirinya bahwa ia hidup dan akan mati mengikuti Salaf dalam masalah-masalah esotoris, seperti yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, sifat-sifat-Nya, para malaikat-Nya, hari kiamat, surga dan neraka. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 50) . Meskipun demikian, tidak berarti tidak pernah berbeda pendapat dengan pendirian Salafiyah Wahhabi. Misalnya, Kalangan Wahhabi mengatakan haram melaksanakan peringatan maulid Rasulullah SAW. Namun, menurut Rasyid Ridla, tidak ada salahnya, kalau hal itu membawa kebaikan kepada umat, terutama dalam meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Untuk itu, ia telah menulis sebuah buku dengan judul Fī Żikrāal-Maulid al-Nabiy. Dalam majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap paham Salafiyah dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 83-84)
Kecenderungan Rasyid Ridla kepada Salafiyah, tampak sekali di dalam Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal.yang sangat penting. Pertama, pemurnian tauhid dan membersihkan Allah SWT dari hal-hal yang menafikan keesaan-Nya dari berbagai kemusyrikan dan pentakdisan syekh-syekh dan wali-wali-wali tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah meninggal dunia.Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih terbuka. Disamping itu mencela taklid buta dan menekankan perlunya berpegang teguh pada Alquran, al-Sunnah, dan atsar salaf al-shalih. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 69)
Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul berkat majalahal-Manar dan Tafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar telah beredar sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan dan pembacanya. Karena itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat dengan majalah al-Manar melalui sejumlah pertanyaan .yang ditujukan kepada Rasyid Ridla untuk dijawab. Rasyid Ridla kemudian menjawabnya dan mempublikasikannya melalui majalah al-Manar. Keba-nyakan pertanyaan itu seputar masalah yang berkenaan dengan cara memerangi berbagai macam bidah dan khurafat yang telah merebak di kalangan umat Islam Indonesia. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera. (Rasyid Ridla, 14091988: 571)
Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut masalah kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para misionaris yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan itulah yang telah mendorong Rasyid Ridla untuk mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyād di Qairo, sebagai solusi untuk meng-hadapinya melalui para alumninya. Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya, mereka kembali ke tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi saudara-saudara mereka dan menjadi juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid Ridla, 14091988: 572)
Di samping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar di Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di sana. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar. berperan sekali dalam mengenalkan dan mnyebarluaskan paham Syekh Abd al-Wahhab di Indonesia. (Rasyid Ridla, 14091988: 572)
Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad ibn Abdillah al-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk keperluan itu, Tafsir al-Manar pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Nashir Abdul Wahid.sebanyak beberapa juz dengan edisi khusus. Adams juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam telah berperan melakukan usaha semacam itu, khususnya perserikatan Muhammadiyah. (Rasyid Ridla, 14091988: 573)
Menurut Kiyai Hajid, K.H.Ahmad Dahlan di samping banyak membaca kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, .majalah al-Manar, dan majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)
Begitu antusiasnya Kiai.H.Ahmad Dahlan dalam membaca dan mempelajari Tafsir al-Manar, sedang berada di gerbong kereta api saja sempat membacanya. Diceriterakan bahwa pada sutu hari secara kebetulan Kiai.H.Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya Ahmad Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu menarik perhatian Ahmad Surkati yang tidak menduga orang pribumi dapat membaca kitab ilmiah tersebut. Dari situ kemudian, terbukalah percakapan dan kesepakatan antara keduanya untuk bekerjasama menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla di masyarakat masing-masing. (A. Mukti Ali, 1411/1990: 18)

V. Penutup

Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena di samping ada persamaan antara keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridla.
Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf, mohon maaf, dan terima kasih.
sumber: http://satuislam.wordpress.com

Tuesday 28 August 2012

Belajar Android 1 : Persiapan Sebelum Membuat Aplikasi Android

Sebelum kita melakukan pembuatan aplikasi android, ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu menginstall software-software yang dibutuhkan untuk membuat aplikasi android.
Ikuti langkah – langkah di bawah ini :

 
            1. Install Java SDK 1.6
Install java SDK (Software Development Kit) 1.6 pada komputer anda, jika anda tidak memiliki java SDK, maka anda dapat mendownloadnya di http://www.oracle.com/technetwork/java/javase/downloads/index.html




2. Install Eclipse
Install eclipse pada komputer anda, sebaiknya gunakan eclipse 3.5 (Galileo) atau eclipse 3.6 (Helios). Anda dapat mendownload eclipse dimana saja karena eclipse ini bersifat open source, atau anda dapat juga mendownload langsung dari situs resmi eclipse http://www.eclipse.org/downloads/packages/eclipse-ide-java-developers/heliossr2

Setelah di download, ekstrak ke direktori “C:\Program Files\eclipse_SDK-3.6”

 3. Install Android SDK
Install Android SDK pada komputer anda, jika anda belum memiliki android SDK, anda dapat mendownloadnya di http://developer.android.com/sdk/index.html.
 
 
setelah itu ekstrak software android SDK tersebut di direktori “C:\android-sdk-windows” jika belum ada, anda dapat membuat sendiri direktori tersebut.

4. Install Eclipse ADT Plugin
Buka eclipse yang telah anda download, lalu pilih menu Help – Install New Software
 
Klik button add, lalu pada bagian name ketika adt -android dan pada bagian location ketikan https://dl-ssl.google.com/android/eclipse/ seperti gambar dibawah ini
 
Setelah selesai, maka akan keluar tampilan “Developer Tools"


 
Klik next, maka langkah selanjutnya adalah mendownload Library Android SDK.

5. Download Library-Library Android
Selanjutnya download Library-library android dengan cara pilih menu Windows – Android SDK and AVD Manager.
 
Lalu pilih semua package yang tersedia, klik install selected dan tunggu sampai proses download selesai.

6. Membuat Emulator Android
Setelah proses download library android diatas selesai, maka langkah selanjutnya adalah membuat emulator android. Pilih menu windows – Android SDK and AVD Manager. Setelah keluar windows Android SDK and AVD manager pilih New, lalu isikan data seperti gambar dibawah ini.
Setelah emulator android berhasil dibuat, maka langkah selanjutnya adalah mengetes emulator android tersebut apakah berjalan dengan baik atau tidak dengan cara, pilih menu windows - – Android SDK and AVD Manager. Pilih Virtual Devices. Lalu pilih emulator android yang kita buat tadi, lalu klik Star.

 
Tunggu beberapa saat sampai emulator android menampilkan gambar seperti di bawah ini.

 
Selamat!!! Anda telah siap untuk membuat program android, sampai bertemu di tutorial android selanjutnya. Keep a rockin in the free world.