Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November
1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di
Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1914. Sayid Abdullah bin Alwi Alatas
seorang staf Jamiat Kheir sangat berperan dalam usaha Ahmad Dahlan
menghadapi kegiatan missi dan zending di Jawa ini, ia memberikan bantuan
keuangan untuk berdirinya perkumpulan Muhammadiyah. Memang
pada awalnya perkumpulan ini didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi
umat Islam di Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu yang dinilai
tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai
bidang kehidupan. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan umat
Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu :
keterbelakangan/kebodohan, kemiskinan dan kondisi pendidikan Islam yang
sangat kuno, sehingga tidak mampu mengantisipasi dan bersaing dengan
sekolah-sekolah Missi dan Zending.
Menurut Harun Nasution, motivasi lain yang juga menjadi pendorong
Ahmad Dahlan, adalah ide-ide Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang
terdapat dalam majalah al-Manar. Majalah ini juga menjadi salah satu
bacaan Ahmad Dahlan terutama sekembali dari tanah suci. Ahmad Dahlan
memberi perhatian besar pada pengajaran dan pendidikan serta menghindari
keterlibatan dalam politik praktis. Tujuan ini sama dengan tujuan
didirikannya perkumpulan Jamiat Kheir yang menekankan masalah sosial dan
pendidikan. Pada Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1921 tujuan dari
perkumpulan ini, yang terdapat pada artikel 2 dan 3 menekankan kepada
pengajaran dan pendidikan.
Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh
pulau Jawa bahkan seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas
sekolah diniyat yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model
pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Dilihat
dari kurikulum pengajarannya, menampilkan kesan bahwa integrasi materi
pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum,
mencerminkan model kurikulum yang telah dirintis oleh perguruan Islam
sebelumnya, terutama Jamiat Kheir diterapkan dalam persyarikatan
Muhammadiyah.
Pengaruh Jamiat Kheir terhadap Ahmad Dahlan memang terlihat
dari pemikirannya tentang pendidikan Islam. Beberapa pernyataan memberi
informasi bahwa Ahmad Dahlan menjadi anggota ke 770 Jamiat Kheir. Dalam
pengantar buku Thariqah menuju Kebahagiaan, Muhammad al-Bagir menulis
:Tertarik kepada ide-ide pembaharuan yang timbul dalam Jamiat Kheir ini,
dan yang digambarkan sebagai penggerak Dunia Islam Baru yang pertama
kali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak tokoh agama dan
nasional mencatatkan diri sebagai anggotanya. Diantara mereka inilah
terdapat tokoh-tokoh yang kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan
seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam dan Budi Utomo.
Tercatat sebagai anggota antara lain KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota
nomor 770. Dari sanalah mereka mengenal bacaan-bacaan kaum reformis
Islam yang didatangkan dari luar negeri.
Menurut Karel A. Steenbrink, K.H.Ahmad Dahlan bukanlah seorang
teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang
sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya : ‘sedikit bicara,
banyak bekerja’. Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafii,
Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah. Ali Mustafa Ya’kub
mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan shalat tarawih dua puluh
raka’at, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan
pengikut madzhab Syafii di Indonesia. Bahkan saking dekatnya ikatan
emosional K.H.Ahmad Dahlan dengan Ahlul Bayt beliau menyarankan bahwa
segeralah membentuk organisasi otonom kaum perempuan Muhammadiyah dan
nama yang diusulkan beliau adalah Fathimah dengan alasan yang paling pas
nama yang disandingkan disisi Rasul Saw dalam perjuangan dan dakwah
Islam adalah putri tercinta Nabi Saw Sayyidah Fathimah dan para
pengikutnya dinamakan Fathimiyah. Akan tetapi terjadi perdebatan
diantara sahabat dan pengurus awal Muhammadiyah mengenai nama Fathimah
atau A’isyah dan suara terbanyak menginginkan nama A’isyah sehingga
dinamakanlah ortom itu dengan A’isyiyah.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung
terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu Islam pertama di
Indonesia berdiri tahun 1901. Melalui organisasi ini Kyai Dahlan
berkenalan Syeikh Ahmad Syurkati, Sayid Abdullah Alatas yang sudah lebih
dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap
publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang
melatar-belakangi ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair.
Organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam
berwawasan modern.
Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan
umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke
jalan yang benar, para pengikut pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh membawa gerakan pembaharuan melalui pan islamismenya di
Kampung Pekojan. Perjuangan dua tokoh ini bak gayung bersambut dan
dilaksanakan oleh pejuang Islam tanah air yang kemudian melahirkan
sebuah organisasi Islam di pekojan pada tahun 1901.
Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Sayid Ali
Shahab dan Sayid Idrus Shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang
politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga
pendidikan modern.
Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair
tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan
kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi
juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi.
Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat
dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa
Belanda. Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari
Bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab
dipelajari sebagai pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini
juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan
Belanda. Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan
Arab tetapi juga warga bumiputera.
Jamiat khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam
masyarakat Islam, misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota,
rapat-rapat berkala dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern.
Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat
Islam) dan oraganisasi keIslaman lain di nusantara.
Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas,
pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran.
Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah
pada fase–fase awal.
Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka,
respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan
kepribadian Dahlan tersebut sebagai berikut:Dahlan was a kind of
Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent
man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly
orthodox but with a trace of torelance”.
Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember
1922, sebelum meninggal dunia, K.H. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa
problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah
karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling benar sendiri,
dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang
memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan
tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of
Human Life”
Setelah K.H.Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23
Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta., salah satu
pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah H. Mas Mansur, atas idenya
Muhammadiyah mendirikan majlis tarjih pada tahun 1927, sehingga dengan
berdirinya majlis tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang
hukum Agama tidak lagi bertaklid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya
bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab Syafii.
K.H. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama
dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya,
terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idenya bertambah dan
berkembang terus. Salah satu kitab yang digemarinya adalah kitab
al-Qashaid al-Atthasiyah karangan Sayid Abdullah Alatas. Meskipun tidak
terhitung sebagai ulama besar yang luar biasa ilmunya, tetapi beliau
mempunyai hati yang bersih, berjuang karena Allah semata, jauh dari
sifat takabur dan ujub, jauh dari kecintaan terhadap kemewahan dunia dan
menghindari perdebatan masalah khilafiyah yang tidak membawa manfaat.
Beliau meninggal pada tahun 1923. Selama beliau hidup, Muhammadiyah
mengalami masa yang tentram dan damai, jauh dari hiruk pikuk perdebatan
masalah-masalah khilafiyah.
Setelah K.H.Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah
disemarakkan banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik
secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan,
seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924. Topik
utama yang didiskusikan dalam kongres ini, antara lain, adalah masalah
ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Di antara
keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa
Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang-orang Wahabi, bahwa
kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab
hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawasul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres,
para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih
terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dan
menguasai teks-teks alquran dan hadits, menguasai ijma’ ulama,
mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui
alasan-alasan turunnya alquran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal
keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih
diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa
terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah
Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik
Di Tiro Yogyakarta.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah tersebut, Kyai Haji Ahmad
Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk
mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji
Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian
mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak
dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat
shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah
yang tidak fanatik” tegas Yunahar.
Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda
bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat
itu juga bersama Hasyim Asyari yang kemudian menjadi salah satu pendiri
Nadhatul Ulama. Karena Kyai Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermahzab
Syafii, maka praktik ibadah Kyai Dahlan banyak yang mengikuti fiqh
Mahzab Syafii. Hanya saja, karena Kyai Dahlan mendapat tugas dari Syaikh
Ahmad Khatib untuk mempelajari Al Mannar, karya Rasyid Ridha, maka Kyai
Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan
tidak bermahdzab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya
Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab
Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi” terang Yunahar. Hal inilah yang
kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah
Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H
(sekitar th 1926):
1. Niat solat pakai “USHOLLI FARDLA..” (hlm. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap subuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca solawat pakai “SAYYIDINA”, termsk bacaan solawat dalam solat (h. 29)
6. Setelah solat disunnahkan WIRIDAN: istighfar, allahumma antassalam,
subhanalallah 33x, alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Salat tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang solat & khutbah jumat juga sama dg amaliah NU (h. 57-60).
A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam Di Jawa Pada Awal Abad ke-20, hal. 105.
Junus Salam, Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan Amal Perjuangannya, hal. 62.
Karel A. Steenbrink. op cit, hal. 52.
Ali Mustafa Ya’kub, Hadits Hadits Bermasalah, hal. 155.
Junus Salam, op cit, hal. 8.
Deliar Noer, op cit, hal. 248
MUHAMMADIYAH TIDAK IDENTIK DENGAN WAHHABI
Penulis :
Oleh
Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag
I. Pendahuluan
Kita selaku umat Islam patut bersyukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan kemampuan kepada organisasi Islam yang bernama Muhammadiyah
untuk memelihara kemurnian ajaran Islam dan sekaligus melaksanakan
pembaruan di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Selama 100 tahun atau
satu abad sejak didirikannya oleh Kiai H.Ahmad Dahlan pada tahun 1912
yang lalu, Muhammadiyah tidak pernah absen memberikan kontribusinya
kepada umat Islam pada khususnya dan kepada bangsa Indonesia pada
umumnya. Kontribusi tersebut, baik yang berkenaan dengan kemaslahatan
untuk agama dan dakwah maupun yang berkenaan dengan kemaslahatan untuk
pendidikan dan sosial. Hal itu dapat disaksikan realitasnya dengan jelas
dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian, tidak berarti Muhammadiyah sunyi dari isu-isu yang
dapat merugikan nama baik dan citranya. Karena sejak awal berdiri
hingga sekarang ini, Muhammadiyah telah dituduh Wahhabi dalam arti
negatif oleh para pesaingnya. Lebih daripada itu lagi, Wahabi itu
sendiiri telah dituduh menjadi dasar ideologi terorisme, terutama di
Indonesia. Dengan demikian, logikanya adalah Muhammadiyah sama dengan
terorisme.
Tuduhan tersebut perlu diklarifiksi dan dijawab sebagaimana mestinya,
karena tuduhan tersebut di samping merugikan Muhammadiyah, juga tidak
berdasarkan fakta, tetapi hanya berdasarkan opini dan dugaan semata.
Untuk klarifikasi dan jawaban tersebut, Penerbit Suara Muhammadiyah
telah menerbitkan buku yang berjudulMuhammadiyah dan Wahanisme yang
sekaligus merupakan kumpulan makalah yang disampaikan oleh para pakarnya
dalam sebuah seminar dengan tema Kupas Tuntas gerakan Wahhabi pada
tanggal 10 Desember 2012.
Apa yang telah dipaparkan dalam buku tersebut dapat diterima dan
sudah cukup untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammadiyah.
Meskipun demikian, dalam kesempatan bedah buku Muhammadiyah dan
Wahabisme ini, akan disampaikan juga beberpa hal yang mendukung apa yang
telah dipaparkan dalam buku tersebut sesuai dengan permintaan Majelis
Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan.
Untuk itu, maka paparannya mencakup (a) sekilas tentang kelahiran
Wahhabiyyah, gerakan, dan ajaran-ajarannya, (b) sekIlas tentang
Muhammadiyah, persamaan dan perbedaannya dengan Wahhabi, (c)
Muhammadiyah tidak dipengaruhi oleh Wahhabi, tetapi oleh gerakan dan
pemikiran pembaruan yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla,
(d) Penutup.
II. Sekilas tentang Kelahiran Wahhabi, Gerakan dan Ajaran-Ajarannya
Sebelum melakukan analisis tentang hubungan Muhammadiyah dengan
Wah-habi, terlebih dahulu kita perlu mengetahui latar belakang kelahiran
Wahhabi, gerakan, dan ajaran-ajarannya..
Wahhabi atau Wahhabiyyah adalah salah satu aliran dalam Islam yang
lahir di Nejd (Saudi Arabia). Aliran tersebut didirikan oleh Muhammad
ibn Abd al-Wahhāb (1115 H-1206 H/1703-1787 H) di desa ‘Uyaynah yang
terletak di Nejd, Setelah menimba ilmu pengetahuan agama di Madinah, ia
pergi merantau ke Basrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun.
Setelah itu, ia pindah ke Bagdad dan kawin dengan seorang wanita y kaya.
Lima tahun kemudian, setelah isterinya meninggal dunia, ia pindah ke
Kurdistan dan menetap di sana selama satu tahun. Setelah itu ia pindah
ke ke Hamażan dan menetap di sana selama dua tahun. Setelah itu, ia,
pindah lagi ke Isfahan. Di kota yang terakhir ini ia sempat mempelajari
filsafat dan tasawuf. Setelah beberapa tahun lamanya merantau, ia
akhirnya kembali ke ‘Uyaynah, tempat kelahirannya.(Harun Nasution, 1975:
23)
Setelah beberapa bulan kembali ke desa Uyayynah, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab mulai melakukan gerakannya untuk memperbaiki kondisi umat
Islam di desa kelahirannya.. Gerakan itu dilakukannya, bukan merupakan
respon dan reaksi terhadap suasana politik di Nejd seperti yang terdapat
di Kerajaan Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi
terhadap pemahaman tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu
itu; dan pemahaman mereka itu menurutnya, sudah menyim-pang dari paham
tauhid yang sebenarnya. Menurutnya, kemurnian tauhid mereka telah
dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M telah
tersebar luas di dunia Islam. (Harun Nasution, 1975: 23)
Pengrusakan kemurnian tauhid tersebut telah disaksikan oleh Muhammad
Abd al-Wahhab di setiap negeri Islam yang telah dikunjunginya. Di setiap
kota dan desa di negeri-negeri Islam tersebut terdapat kuburan-kuburan
syekh-syekh dan wali-wali tarekat yang dianggap keramat. Ke
kuburan-kuburan itulah umat Islam berziarah dan memohon pertolongan
kepada syekh-syekh dan wali-wali yang terbaring di dalamnya agar
berkenan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi, baik yang
berkenaan dengan keinginan untuk mendapatkan anak, jodoh, harta kekayaan
maupun yang berkenaan dengan keselamatan dari bala dan kesembuhan dari
penyakit yang diderita.. Umat Islam melakukan hal itu, karena menurut
keyakinan mereka, syekh-syekh dan wali-wali tarekat itu meskipun telah
meninggal dunia dipandang dapat menyelesaikan segala persoalan yang
hadapi manusia di dunia ini. (Harun Nasution, 1975: 23)
Menurut Muhammad Abd al-Wahhab, karena pengaruh ajaran tarekat
tersebut, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan kepada
Allah SWT sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi
melalui syafaat dari syekh-syekh dan wali-wali tarekat, yang diyakini
sebagai orang-orang yang dapat mendekati Allah dan mendapatkan
rahmat-Nya. Menurut keyakinan orang-orang yang berziarah ke
kuburan-kuburan syekh-syekh dan wali-wali tersebut, Allah tidak dapat
didekati, kecuali melalui perantara. Menurut Ahmad Amin, bagi mereka,
Allah itu seperti seorang raja yang zalim di dunia, yang untuk
memperoleh belas kasihan dan keampunannya harus didekati melalui
orang-orang besar dan berkuasa di sekiarnya. (Harun Nasution, 1975: 24)
Pada mulanya gerakan dan paham Muhammad Abd al-Wahhab tersebut
mendapat tantangan yang keras dari masyarakatnya, termasuk dari
keluarganya sendiri. Meskipun demikian, ia masih mendapatkan pengikut
yang banyak. Di antaranya, banyak pula yang berasal dari luar desanya..
Namun, karena paham dan gerakannya telah menimbulkan berbagai keributan
di desanya, ia pun diusir oleh penguasa setempat. Karena itu, ia dan
keluarganya terpaksa meninggalkan ‘Uyaynah dan hijrah ke Dar’iyah,
sebuah desa tempat tinggal Muhammad ibn Sa’ud, kepala suku yang kelak
menjadi nenek moyang raja-raja Kerajaan Sa’udi.Arabia secara turun
termurun. Kebetulan tokoh yang terakhir ini sudah mengikuti paham yang
dibawanya dan mendukung dan memberikan fasilitas untuk gerakan dan
penebaran pahamnya. Dengan hijrahnya Muhammad ibn Abd al-Wahhab dari
‘Uyaynah ke Dar’iyah, telah membawa keberuntungan kepadanya. Karena
dengan bergabungnya kedua tokoh tersebut telah membuat paham Wahabiah
berkembang pesat di Saudi Arabia, terlebih lagi setelah berdiri kerajaan
Su’udiyah, tidsk ada lsgi yang dapat menghslangi perkembangan gerakan
dan paham Wahabiyyah.
Sepeninggal Muhammad ibn Sa’ud, anak dan keturunannya yang telah
menjadi penguasa di Saudi Arabia terus memberikan dukungan dan ikut
mengembangkan paham Muhammad Abd al-Wahhab. Bahkan, meskipun kerajaan
Saudi Arabia telah mengalami pasang surut dan di antara para penguasanya
telah dihukum mati oleh kerjaan Usmani, paham Muhammad ibn Abd
al-Wahhab tetap berjaya di sana. Begitu pula setelah tokohnya sendiri
wafat pada tahun 1206/1795 M), paham tersebut telah memiliki kedudukan
yang kuat di tanah suci, baik dari segi penerimaan oleh masyarakat
Muslim di sana maupun dari segi politik.
Paham dan gerakan yang berasal dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab ini
dinamai Wahhabi atau Wahhabiyyah. Namun, nama tersebut, bukan berasal
dari pendirinya atau para pengikutnya, melainkan dari pihak lain yang
telah menentangnya. Sebenarnya nama Wahhabi atau Wahhabiyyah tersebut
tidak tepat, karena nisbahnya bukan kepada pendirinya, tetapi kepada
ayahnya yang tidak ada terliobat dalam pengembangan ajaran-ajaran
anaknya..Nama yang tepat adalah Muhammadiyyah sesuai dengan nama
pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Namun, mereka sendiri menyebut
paham dan gerakan mereka itu dengan muwahhidin, Ahl al-sunnah wa
al-Jamū’ah, dan Salafiyah. Alasan mereka mengatakan demikian, ksrena
mreka hanya menganut dan mengikuti apa yang telah dianut dan dilakukan
oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan para salafussaleh yang
mengikutinya. Sistem tarekat (metode) yang mereka ikuti adalah
Muhammadan (kata ini dapat menunjuk kepada Muhammad ibn Abd al-Wahhab,
tetapi juga bisa mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad SAW).(Tim Penulis
IAIN Syahid, 2002: 1242)
Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan para pengikutnya mengaku bahwa mereka
adalah golongan Sunni, pengikut mazhab Ahmad ibn Hanbal versi Ibn
Taimiyah. Karena itu, pokok-pokok akidah menurut Wahhabi pada dasarnya
tidak berbeda dengan yang telah dikemukakan Ibn Taimiyah.. Perbedaannya
hanya pada cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa masalah tertentu.
DI samping itu, kalau Ibn Taimiyah menanam-kan paham-pahamnya kepada
orang lain dengan cara menulis buku, dialog, dan perdebatan, Muhammad
Abd al-Wahhab menanamkan paham dan ajaran-ajarannya dengan kekerasan
sehingga tanpa rasa risih menuduh orang yang menolaknya sebagai orang
kafir dan syirik yang boleh dibunuh aau membongkar kuburan dan
meratakannya dngan tanah dan merusak bangunan mesjid kalau itu
dianggapnya merupakan tempat yang membawa kepada kemusyrikan.
Ajaran-ajaran Muhammad Abdul Wahhab atau Wahabiyyah tersebut, antara lain.
1. Orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir; karena itu boleh dibunuh.
2. Oleh karena Allah adalah Mahaesa dalam menerima ibadah, maka tidak boleh berdoa kepada Allah melalui perantara (wasilah)
3. Meminta pertolongan kepada syekh-syekh atau
wali-wali tarikat yang terbaring dalam kuburan, baik untuk mendapatkan
jodoh, anak, rezeki, dan keselamatan adalah syirik.
4. Haram berzikir dan membaca wiirid dengan menggunakan buah tasbih, tetapi cukup dengan menghitung keratan jari.
5. Bidah, takhayul, dan khurafat wajib dibasmi
6. Termasuk perbuatan bidah adalah memperingati
maulid Nabi SAW, menyelenggarakan halqah zikir, membaca kitab-kitab
manaqib, kitab-kitab tawassulat, dan Dalail- al-Khairat.
7. Pintu ijtihad tidak tertutup; karena itu siapa saja yang sudah memenuhi syarat-syaratnya, boleh berijtihad.
8. Tidak boleh taklid dalam beragama
9. Sumber ajaran Islam hanya Alquran dan
al-sunnah. Kalau masih diperlukan ijtihad untuk menggali hukum yang
tidak ada nasnya di dalam Alquran dan al-Sunnah, kedudukannya bukanlah
sebagai sumber, melainkan sebagai metode saja, termasuk di dalamnya
qiyas.
10. Kalau terdapat pertentangan antara pendapat
Imam mazhab, seperti Ahmad ibn Hanbal dengan Alquran dan al-Hadits,
pendapat Imam mereka, mereka tinggalkan dan mereka ambil penegasan dari
Alquran atau al-sunnah.
.III. Sekilas tentang Muhammadiyah, Persamaan dan Perbedaannya dengan Wahhabi
Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah
perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah
1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah
Kiai.H.Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga
ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai
pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar
lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang
terkenal di Mekkah waktu itu. Namun, sete;ah setahun belajar di sana,
ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah,
kemudian menetap di sana selama dua tahun.
Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah Ahmad Dahlan
sempat bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridla, murid Syekh Muhammad
Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat
itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam
di tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770). Apalagi kondisi umat
Islam pada waktu itu sedang terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya
dalam menghadapi kedijayaan dan keserakahan kolonial Belanda. Ketika
berhadapan dengan kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, di
antara mereka bersikap antipati dan menolaknya secara mutlak; dan di
antaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula. Bahkan, mereka
yang telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan percaya
diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke
dalam mesjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan
tercemarnya paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bidah, tskhsyul, dan
khurafat, di samping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya. Mengingat hal itu, maka setelah kembali ke
tanah air, K.H.Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah
dan ibadah dengan merujuk kepada Alquran dan al-sunnah dan sekaligus
pula melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam secara bertahap dan
mandiri di Yogyakarta. Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan
tersebut, tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan),
tetapi juga dengan bi al-hāl (dengan perbuatan), seperti mendirikan
sekolah-sekolah modern, menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak
yatim. Meskipun di satu sisi gerakan yang dilakukan K.H.Ahmad Dahlan
tersebut mendapat tantangan dari kalangan masyarakat Muslim yang
tradisionalis, di sisi lain mendapat dukungan dari masyarakat Muslim
yang lain.
Dukungan tersebut semakin lama, semakin besar sehingga pada tahun
1912 dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan
atau organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah
pemurnian dan pembaharuan tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang
maksimal. Perserikatan tersebut dinamai Muhammadiyah dan diresmikan
berdirinya oleh K.H.Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330H/18
Nopember 1912. Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun
mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan
dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup
banyak, rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya
manusia (SDM) yang juga berjumlah besar dan dibutuhkan umat Islam dan
bangsa Indonesia.
Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah maupun
fiqh (hukum Islam) merujuk kepada Alquran dan al-sunnah. Di samping itu
juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istisan masalih
al-mursalah add al-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum, melainkan
metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran dan
al-sunnah.
Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari Alquran dan
al-sunnah, Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu
telah dinyatakan dalam Himpunan Putusan tarjih. Menurut putusan
tersebut, Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar
dengan merujuk kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat
al-nājiyah min al-salaf). Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada
ajaran yang murni, yang tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain
dari luar sebagaimana yang berlaku pada zaman Nabi dan generasi salaf
yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan Salafiyah yang lain,
Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga dimasukkan dalam
katagore Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang cenderung di
tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Muhammad ibn
Abd al-Wahhāb dan Rasyid Ridla.(Haedar Nashir, 2007: 15)
Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang telah
ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah seorang
Pimpinan Pusat Muham-madiyah. Buku ini identik dengan buku-buku akidah
yang ditulis oleh kalangan Wahha-bi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat
dianggap sebagai pencerminan paham Muham-madiyah di bidang akidah,
berarti tidak ada perbedaannya dengan paham akidah Salafiyyah dan
Wahhabi.
Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Kalau
Wahhabi menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan
diri meng-ikuti mazhab Hanbali meskipun tidak fanatik.. Sebaliknya,
Muhammadiyah di samping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga
tidak mengikuti mazhab tertentu, baik dari mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali maupun mazhab lainnya. Namun, warga Muhammadiyah
diarahkan untuk mengikuti keputusan Majelis Tarjih Muham-madiyah dalam
hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang serasi dengan salah
satu dari mazhab yang empat dan kadang-kadang serasi dengan mazhab yang
lain.dari mazhab yang empat atau yang di luar dari mazhab-mazhab
tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis
Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda
dan tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh
Wahhabiyyah, antara lain cara berwudlu, salat subuh tidak menyertakan
doa qunut, membaca surat al-Fatihah dalam salat tanpa membaca
bismillahirrahmanirrahim dengan nyarring, dan hukum merokok adalah
haram. Sebaliknya,
keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain :
(1) Salat tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahhabi sebanyak 20 rakaat.
(2) Salat ‘Id al-Fithri dan Salat ‘Id al-Adlha dilaksanakan di lapangan, bukan di mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah di mesjid..
(3) Penentuan awal Ramadlan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus melalui rukyah.
(4) Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang, tetapi harus berupa makanan pokok.
(5) Zakat boleh diberikan kepada panitia mesjid,
sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada pihak-pihak yang
tidak ternasuk asnaf delapan.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan dakwah dan
amar ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok
dengan Wahhabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara
yang bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya,
Wahhabi, terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan
dan memandang setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya
dipandang sebagai orang yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar
ma’ruf dan nahi mungkar.
IV Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh Wahhabi, tetapi
dipengaruh oleh Gerakan dan pemikiran Pembaruan yang Diusung oleh
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla.
Menurut Dr Shalih ibn Abdullah dan Dr Muhammad Kamil Dlahir dalam buku
masing-masing, dakwah dan paham Wahhabi atau pendirinya, Muhammad ibn
al-Wahhab tidak hanya telah mempengaruhi pemikitran umat Islam di
jazirah Arab, tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di
berbagai negara Islam, seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, dan
Paletina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir, dan India. Namun, keduanya tidak
menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah itu telah juga
mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn Abdillah,
1408: 631-697 dan Muhammad Kāml Dlāhir, 1414/1993: 199-208) Ini
menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, Kiai H.Ahmad
Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh
Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap
beberapa tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada
para ulama dari kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca
karya-karya tulis mereka. Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan
yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang pendidikan, sosial,
dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal antara keduanya. Karena, di
kalangan Wahhabi, terutama pada masa silam tidak pernah dilaksanakan hal
tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran agama, khususnya
di bidang akidah dan ibadah mahdlah.
Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan gerakan
Wah-habi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution,
Kiai.H.Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh
gerakan pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridla. Namun, dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridla lebih banyak
daripada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh dalam mem-pengaruhi pemikiran
mereka dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal daripada
Rasyid Ridla. Kalau Abduh lebih cenderung kepada Mu’tazilah, Rasyid
Ridla lebih cenderung kepada Salafiyah. (Harun Nasution, 1415 /1995:
155-156) Selain itu, Rasyid Ridla sendiri mengklain dirinya bahwa ia
hidup dan akan mati mengikuti Salaf dalam masalah-masalah esotoris,
seperti yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, sifat-sifat-Nya,
para malaikat-Nya, hari kiamat, surga dan neraka. (Muhammad Abdullah
al-Salman, 1345: 50) . Meskipun demikian, tidak berarti tidak pernah
berbeda pendapat dengan pendirian Salafiyah Wahhabi. Misalnya, Kalangan
Wahhabi mengatakan haram melaksanakan peringatan maulid Rasulullah SAW.
Namun, menurut Rasyid Ridla, tidak ada salahnya, kalau hal itu membawa
kebaikan kepada umat, terutama dalam meneladani kehidupan Rasulullah
SAW. Untuk itu, ia telah menulis sebuah buku dengan judul Fī
Żikrāal-Maulid al-Nabiy. Dalam majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar,
terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap paham Salafiyah
dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 83-84)
Kecenderungan Rasyid Ridla kepada Salafiyah, tampak sekali di dalam
Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal.yang sangat penting. Pertama,
pemurnian tauhid dan membersihkan Allah SWT dari hal-hal yang menafikan
keesaan-Nya dari berbagai kemusyrikan dan pentakdisan syekh-syekh dan
wali-wali-wali tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah
meninggal dunia.Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih terbuka.
Disamping itu mencela taklid buta dan menekankan perlunya berpegang
teguh pada Alquran, al-Sunnah, dan atsar salaf al-shalih. (Muhammad
Abdullah al-Salman, 1345: 69)
Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul berkat
majalahal-Manar dan Tafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia Islam,
termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar telah beredar
sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan dan pembacanya.
Karena itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat dengan majalah
al-Manar melalui sejumlah pertanyaan .yang ditujukan kepada Rasyid Ridla
untuk dijawab. Rasyid Ridla kemudian menjawabnya dan mempublikasikannya
melalui majalah al-Manar. Keba-nyakan pertanyaan itu seputar masalah
yang berkenaan dengan cara memerangi berbagai macam bidah dan khurafat
yang telah merebak di kalangan umat Islam Indonesia. Umumnya,
pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera. (Rasyid
Ridla, 14091988: 571)
Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut masalah
kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para misionaris
yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan itulah
yang telah mendorong Rasyid Ridla untuk mendirikan Madrasah al-Da’wah
wa al-Irsyād di Qairo, sebagai solusi untuk meng-hadapinya melalui para
alumninya. Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan
di lembaga pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya,
mereka kembali ke tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi
saudara-saudara mereka dan menjadi juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid
Ridla, 14091988: 572)
Di samping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar di
Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di
sana. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar.
berperan sekali dalam mengenalkan dan mnyebarluaskan paham Syekh Abd
al-Wahhab di Indonesia. (Rasyid Ridla, 14091988: 572)
Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad ibn
Abdillah al-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir
al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk
keperluan itu, Tafsir al-Manar pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu oleh Nashir Abdul Wahid.sebanyak beberapa juz dengan edisi
khusus. Adams juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam telah
berperan melakukan usaha semacam itu, khususnya perserikatan
Muhammadiyah. (Rasyid Ridla, 14091988: 573)
Menurut Kiyai Hajid, K.H.Ahmad Dahlan di samping banyak membaca
kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia
adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, .majalah al-Manar, dan majalah
al-‘Urwat al-Wutsqa yang dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad
Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)
Begitu antusiasnya Kiai.H.Ahmad Dahlan dalam membaca dan mempelajari
Tafsir al-Manar, sedang berada di gerbong kereta api saja sempat
membacanya. Diceriterakan bahwa pada sutu hari secara kebetulan
Kiai.H.Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah
gerbong kereta api di Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk
menghabiskan waktunya Ahmad Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu
menarik perhatian Ahmad Surkati yang tidak menduga orang pribumi dapat
membaca kitab ilmiah tersebut. Dari situ kemudian, terbukalah percakapan
dan kesepakatan antara keduanya untuk bekerjasama menyebarkan pemikiran
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla di masyarakat masing-masing. (A. Mukti
Ali, 1411/1990: 18)
V. Penutup
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah
tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena di samping ada persamaan antara
keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian
akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan
karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena
terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh
Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridla.
Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf, mohon maaf, dan terima kasih.
sumber: http://satuislam.wordpress.com